TEMA
KONFLIK KEPENTINGAN DALAM MASYARAKAT
BAB I
Pendahuluan
Dalam praksis politik demokrasi, konflik atau perbedaan kepentingan, persepsi, interpretasi terhadap mekanisme kebijakan sebetulnya tidak saja mengandung nilai-nilai positif pembelajaran politik, melainkan juga merupakan strategi politik yang sering dipraktikkan banyak negara demokratis. Konflik dalam praksis politik sebetulnya tidak mungkin dihindari, apalagi bagi Indonesia yang memiliki multi human/cultur.
Konflik di masyarakat merupakan sesuatu yang tak bisa dielakkan, maka yang perlu diketahui bukanlah apakah konflik itu ada atau tidak ada, tapi bagaimana intensitas dan tingkat kekerasannya, dan dalam bentuk apa konflik itu.
Apakah menyangkut masalah fundamental atau isu-isu sekunder, pertentangan tajam atau sekadar perbedaan pandangan?
Intensitas konflik menunjuk pada tingkat pengeluaran energi dan keterlibatan pihak-pihak (kelompok-kelompok) yang berkonflik. Sedangkan kekerasan konflik menyangkut alat/sarana yang digunakan dalam situasi konflik, mulai dari negosiasi hingga saling menyerang secara fisik. Konflik antar kelompok yang menyangkut masalah prinsip dasar (fundamental) akan menimbulkan pertentangan antar kelompok yang lebih serius dibandingkan bila masalahnya sekadar bersifat sekunder atau dinilai tak penting.
Pengertian
Teori Konflik telah diulas dan dikembangkan oleh banyak sosiolog. Mereka antara lain, Karl Marx, Ralf Dahrendorf, George Simmel, dan Lewis Coser.
Teori Konflik yang digagas oleh Marx didasarkan pada kekecewaannya pada sistem ekonomi kapitalis yang dianggapnya mengeksploitasi buruh. Bagi Marx, dalam masyarakat terdapat dua kekuatan yang saling berhadapan, yakni kaum borjuis yang menguasai sarana produksi ekonomi dan kaum proletar atau buruh yang dikendalikan oleh kaum borjuis.
Antara kedua kelompok ini selalu terjadi konflik. Dalam The Communist Manifesto, Marx (Johnson, 186: 146) mengatakan, "Sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga saat ini adalah sejarah perjuangan kelas," yaitu kelas buruh melawan kelas borjuis, yang pada akhirnya akan dimenangkan kaum proletar, sehingga tercipta tatanan masyarakat tanpa hierarkis, yakni komunisme. Karl Marx melihat masyarakat manusia sebagai sebuah proses perkembangan yang akan menyudahi konflik melalui konflik (Camplell, 1994: 134).
Penerus gagasan Marx, di antaranya adalah Ralf Dahrendorf. Dia melakukan revisi atas pemikiran Marx. Baginya, pengelompokan kelas sosial tidak lagi hanya didasarkan atas pemilikan sarana-sarana produksi, tetapi juga atas hubungan-hubungan kekuasaan. Terdapat sejumlah orang yang memiliki dan turut serta dalam struktur kekuasaan, terdapat pula yang tidak masuk kekuasaan. Menurut Dahrendorf, sebagai koreksi atas pemikiran Marx, telah terjadi dekomposisi modal (menimbulkan kesulitan mengidentifikasi kaum borjuis yang monopolistis karena para pegawai pun kini ikut memiliki saham perusahaan); dekomposisi tenaga kerja (kaum proletar tidak lagi homogen; secara hierarkis di antara mereka tersebar menempati posisi tertentu), dan timbulnya kelas menengah baru (karena terjadinya peningkatan kesejahteraan di kalangan kaum buruh).
Dalam hal ini terkandung tiga konsep penting: kekuasaan, kepentingan, dan kelompok sosial. Pada gilirannya nanti, menurut Garna (1992: 66), diferensiasi kepentingan yang terjadi dapat melahirkan kelompok konflik potensial atau kelompok konflik aktual yang berbenturan karena punya kepentingan antagonistik.
Menurut Coser, konflik itu memiliki fungsi sosial. Konflik sebagai proses sosial dapat merupakan mekanisme lewat mana kelompok-kelompok dan batas-batasnya dapat terbentuk dan dipertahankan. Konflik juga mencegah suatu pembekuan sistem sosial dengan mendesak adanya inovasi dan kreativitas (Garna, 1992: 67). Karena konflik lebih banyak dilihat dari segi fungsi positifnya, maka Teori Konflik yang dikembangkan Coser disebut pula Fungsionalisme.
Konflik Sosial.
Konflik sering memperkuat dan mempertegas batas kelompok dan meningkatkan penggalangan solidaritas internal kelompok. Konflik antarkelompok merupakan penghadapan antara in-group dan out-group. Ketika konflik terjadi, masing-masing anggota dalam suatu kelompok akan meningkatkan kesadaran sebagai sebuah kelompok (in-group) untuk berhadapan dengan kelompok lain (out-group). Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial lainnya. (Poloma, 1987: 108). Ketika ada ancaman dari luar, maka kelompok tidak mungkin memberikan toleransi pada perselisihan internal.
Demokratisasi secara konseptual menurut Kenneth Minogue, (2000) merupakan proses di mana rezim-rezim otoriter beralih menjadi rezim-rezim demokratis. Proses transisi menuju demokratis dalam pilkada kali ini menjadi fenomena kuat apakah demokratisasi berjalan sesuai dengan substansinya itu sendiri atau lagi-lagi terjebak pada "slogan-slogan dan verbalisme" kampanye yang tak mampu menangkap aspirasi dan kepercayaan rakyat pemilih.o r d p r e s s . c o m
Kemauan dan kerelaan para pemimpin terpilih untuk secara cepat atau lambat melepaskan dominasi mental priayi ataupun otoriter. Pada pada platform inilah proses demokratisasi akan menemukan "ruang gerak"-nya secara dinamis, kendatipun tak ada yang bisa menjamin sepenuhnya karena berbagai realitas dan fenomena sosial, budaya, ekonomi, dan politik rakyat saling terkait dan saling memengaruhi. Pada tataran ini, pilkada secara langsung akan menjadi satu momentum berharga bagi rakyat dalam memilih pemimpinnya dan sekaligus tantangan dan ujian bagi proses pendidikan politik rakyat Indonesia.
Yang perlu diingat, dalam proses demokratisasi ini terdapat kelemahan, di mana kebebasan dan pengabaian rakyat untuk memilih secara bebas, rasional, terbuka dan reflektif akan berdampak pada munculnya apatisme politik rakyat yang lebih membahayakan bentuk pemerintahan konstitusional.
Solusi atas konflik
Menurut Johnson (1990: 162), perhatian utama Teori Konflik adalah pada mengenal dan menganalisis kehadiran konflik dalam kehidupan sosial, sebab, dan bentuknya, dan dalam banyak hal, akibatnya dalam perubahan sosial.
Dengan demikian, konflik perlu dikelola. Konflik yang tidak dikelola dapat menimbulkan perubahan sosial yang tidak diharapkan, sementara konflik yang dikelola dapat mengarahkan perubahan sosial ke arah yang diharapkan. Teori Konflik dengan analisis fungsional terus dikembangkan oleh sejumlah pakar, antara lain melalui berbagai studi eksperimen, di antaranya yang sangat menonjol adalah eksperimen Muzafer Sherif.
Dalam upaya pengembangan teori ini, Sherif melakukan eksperimen, dengan mengumpulkan sejumlah orang, dengan tahapan sebagai berikut:
(1) pemilihan teman secara spontan,
(2) pembentukan kelompok,
(3) konflik antarkelompok, dan
(4) kerja sama antarkelompok atau pengurangan konflik antarkelompok (Taylor dan Moghaddam, 1994).
Pada awalnya setiap orang mencari pilihan kawan yang cocok sehingga terbentuklah kelompokkelompok. Dalam pembentukan kelompok ini diperlukan adanya kerja sama antarindividu. Mereka melakukan serangkaian tugas bersama. Pada saat yang sama, mereka juga membangun kultur kelompok. Ketika konflik terjadi, di kalangan para anggota kelompok terjadi persepsi yang bias. Terjadi peningkatan sikap positif terhadap kelompok dirinya masing-masing (in-group) berupa solidaritas internal, dan sikap negatif terhadap kelompok lain (out-group). Kekompakan, komitmen, konformitas pada in-group makin tinggi, juga muncul kepemimpinan yang bersifat agresif. Konflik antarkelompok ini kemudian dapat dikendalikan ketika semua kelompok dihadapkan pada tugas bersama yang merupakan tujuan bersama yang lebih tinggi (superordinate goals), yang pencapaiannya tak mungkin tanpa partisipasi seluruh kelompok. Maka terjadilah tranformasi dari situasi konflik ke relasi antarkelompok yang harmonis.
Penyelesaian konflik antarkelompok berdasarkan Teori Konflik, menurut eksperimen Sherif, adalah berada pada tahap terakhir, yakni bagaimana mengubah konflik, pertikaian, atau perselisihan menjadi sebuah bentuk kerja sama.
Menurut Sherif, konflik antar kelompok itu akan berubah menjadi kerja sama antarkelompok apabila kepada mereka diintroduksikan superordinate goals secara meyakinkan bahwa di atas hal-hal yang membuat mereka saling bermusuhan itu, ada hal yang jauh lebih penting untuk dihadapi bersama.
BAB II
Kasus
Tanjung Priok, Berdarah Lagi !!!!
Tanjung Priok berdarah lagi, setelah kasus Tanjung Priok pada tahun 1984 menelan banyak korban, kini Tanjung Priok kembali membara dan darah tertumpah lagi.
Kemarin tanggal 14 April 2010 peristiwa serupa berulang di kawasan yang sama di Tanjung Priok. Polisi dan warga berperang dari pagi sampai sore dengan keganasan dan kebencian yang mengerikan. Puluhan orang terluka dan banyak kendaraan polisi dibakar massa. Kerusuhan malah meluas sampai ke Rumah Sakit Koja.
Pemicunya sama, yaitu persinggungan dengan keyakinan agama. Di tahun 1984, kerusuhan berdarah dipicu oleh kemarahan warga terhadap seorang aparat yang memasuki masjid tanpa membuka alas kaki.
Sementara perang kemarin dipicu oleh perlawanan warga kepada ribuan satpol pamong praja yang hendak memasuki kompleks makam Mbah Priok yang selama ini diyakini keramat. Kompleks itu berada dalam lahan milik PT Pelindo II. Mbak Priok adalah nama lain dari Habib Hassan bin Muhamad al Hadad, penyiar Islam dari Sumatera yang pertama kali menamakan kawasan di utara Jakarta itu sebagai Tanjung Priok.
Ketika peristiwa Tanjung Priok meledak tahun 1984, publik tidak banyak yang tahu. Pers yang terkontrol ketat tidak menyiarkan peristiwa itu apa adanya. Kemarin, Perang Tanjung Priok, menjadi tontonan. Inilah perang yang terjadi di masa demokrasi dan kebebasan. Publik menyaksikan betapa negara, dengan segala kelengkapan dan kewenangan ternyata tidak mencintai rakyatnya.
Di sisi yang lain, publik pun bisa menyaksikan betapa warga negara telah memiliki kebringasan yang mengerikan juga. Mereka bisa memamerkan senjata tajam dan segala peralatan perang yang mungkin dipergunakan sebagai senjata, termasuk meledakan bom molotov.
Apa yang menyebabkan negara dan rakyatnya sendiri terlibat pertarungan berdarah yang mengerikan layaknya seperti musuh di medan perang?
Ini semuanya terjadi karena beberapa sebab. Pertama, tidak terlihat peningkatan yang sungguh-sungguh pada komitmen negara mencintai rakyatnya. Negara, bila terjadi konflik kepentingan dengan warga lebih cenderung memperlakukan rakyat sebagai musuh yang harus disingkirkan.
Kedua, betapa buruknya negara menjalankan resolusi problem. Makam Mbah Priok itu, menurut keterangan Wakil Gubernur DKI Prijanto, tidak digusur tetapi hendak direnovasi sebagai tempat kramat. Tetapi niat baik itu tidak dipahami karena komunikasi yang buruk.
Ketiga, terjadi distrust yang parah terhadap peraturan karena semakin hari semakin jelas bahwa penegakan hukum di negeri ini sangatlah manipulatif. Mafia hukum yang terbongkar belakangan ini bisa menjelaskan betapa meluasnya manipulasi itu.
Lalu, yang tidak kalah pentingnya adalah buruknya civic education. Negara lalai mendidik warga agar memiliki disiplin. Termasuk lembaga-lembaga pendidikan. Dan, yang juga lalai menjalankan civic education adalah partai politik. (sumber: www.mediaindonesia.com)
Pendapat Tokoh
Yogyakarta (ANTARA News) - Pengamat sosial politik dari Universitas Gadjah Mada Arie Sudjito MSi menilai tindak kekerasan sehingga terjadi bentrokan antara warga dan aparat di Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (14/4), akibat kekeliruan dalam pendekatan terhadap masyarakat.
Dirangkum dari wawancara Metro TV dan Alwi Shahab (ahli sejarah Betawi) dan Ridwan Saidi (Budayawan Senior Betawi) pada acara Metro Pagi. Pada akhir wawancara, Alwi Shahab meminta agar masalah Makam Mbah Priok jangan dikait-kaitkan dengan sejarah yang justru menjadi pengaburan sejarah.
Bila ada yang merasa sebagai ahli waris dan menganggap memiliki tanah tersebut, silahkan ditempuh jalur hukum, dan jangan mengaitkannya dengan sejarah, karena mereka tahu persis bahwa banyak sejarah yang dilencengkan pada kasus Makam Mbah Priok ini.
Bila ada yang merasa sebagai ahli waris dan menganggap memiliki tanah tersebut, silahkan ditempuh jalur hukum, dan jangan mengaitkannya dengan sejarah, karena mereka tahu persis bahwa banyak sejarah yang dilencengkan pada kasus Makam Mbah Priok ini.
Jakarta – Ketua umum Palang Merah Indonesia (PMI) Pusat, yang juga ketua tim investigasi tragedi Tanjung Priok, Jusuf Kalla, menilai, bentrokan Tanjung Priok merupakan tragedi kemanusiaan terhebat pascareformasi 1998.
“Ini peristiwa terhebat yang pernah kita alami pasca reformasi,” tegas Jusuf Kalla, dalam dialog yang disiarkan secara langsung di salah satu televisi swasta, Minggu (18/4).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar